Untuk Apa Belajar Agama Jika Membalas Mencela?
Kita harus benar-benar sering membaca akhlak para ulama dan para pendakwah sebelum kita. Akhlak para salafus shalih sangat jauh dari akhlak kita sekarang. Salah satu akhlak mulia mereka adalah tidak membalas celaan, caci-maki, dan olok-olok. Dalam artian, mereka tidak melayani celaan dan debat, bahkan sebagian dari mereka justru memaafkan. Perhatikan ucapan seorang ulama, Waki’ rahimahullah,
سب رجل الإمام وكيع رحمه الله: فلم يُجبه فقيل له : ألا ترد عليه؟ قال : و لم تعلمنا العلم إذاً
“Seorang laki-laki mencela Imam Waki’ rahimahullah, namun beliau tidak merespon sama sekali. Beliau ditanya ‘Mengapa engkau tidak membalas celaan itu?’ Beliau menjawab, ‘Untuk apa kita belajar agama kalau begitu?’” (Raudhatul ‘Uqala, hal. 166)
Demikian juga ketika ada yang mencela Asy-Sya’biy rahimahullah, maka beliau berkata,
إن كنتَ صادقاً فغَفر الله لي، وإن كنتَ كاذباً فغفر الله لك.
“Apabila engkau benar, semoga Allah mengampuni aku. Dan apabila engkau dusta, semoga Allah mengampuni engkau.” (Al-‘Aqdul Farid, 2: 276)
Demikianlah contoh dan teladan dari ulama kita. Sebaik apapun kita, pasti akan ada orang yang mencela kita. Bahkan manusia paling mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun dicela oleh manusia dengan julukan yang sangat jelek, yaitu gila, tukang sihir, dan tukang dusta. Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻜَﺎﻓِﺮُﻭﻥَ ﻫَٰﺬَﺍ ﺳَﺎﺣِﺮٌ ﻛَﺬَّﺍﺏٌ
“Orang-orang kafir berkata, ‘Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.’” (QS. Shad: 4)
Orang beriman dan melakukan banyak kebaikan pun akan menjadi bahan olok-olok dan bahan tertawaan bagi orang yang keras hatinya. Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺮُّﻭﺍ ﺑِﻬِﻢْ ﻳَﺘَﻐَﺎﻣَﺰُﻭﻥَ
“Ketika mereka (orang beriman) melewati orang kafir, maka orang kafir pun menertawakan.” (QS. Al-Muthaffifin: 29)
Baca Juga: Tiga Kunci Sukses Belajar Fikih
Kita pun tidak bisa berharap semua manusia akan suka dengan kita atau semua manusia memuji kita serta tidak ada satu pun yang mencela. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
ما أحد الا وله محب ومبغض, فان كان لا بدّ من ذلك, فليكن المرء مع أهل طاعة الله عز وجل.
“Setiap orang pasti ada yang mencintai dan ada yang membenci. Hal tersebut pasti terjadi, maa hendaklah selalu bersama orang-orang yang taat kepada Allah.” (Mawa’idh Imam Syafi’i)
Untuk menghadapi hal seperti ini, cukup dengan tidak mempedulikan dan tidak merespon sama sekali celaan tersebut. Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
ﻣَﻦْ ﻗَﺪَّﺭَ ﺃَﻧﻪ ﻳَﺴْﻠَﻢُ ﻣِﻦْ ﻃَﻌْﻦِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﻋَﻴْﺒِﻬِﻢْ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺠْﻨُﻮﻥ
“Barang siapa yang menyangka ia bisa selamat dari celaan manusia dan cercaan mereka, maka ia adalah orang gila.” (Al-Akhlaaq wa As-Siyar fi Mudawaatin Nufuus, hal. 17)
Demikian juga perkataan ulama,
ألقي كلمتك وأمشي
“Sampaikanlah, lalu teruslah berjalan (tidak terlalu peduli dengan celaan).”
Puncak akhlak dari para ulama dan salafus shalih adalah berusaha memaafkan dan ini butuh jiwa yang besar. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“Jika kalian membalas, maka balaslah yang setimpal. Akan tetapi, bila kalian bersabar, maka itu lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.” (QS. An-Nahl: 126)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ الله لَكُمْ
“Maafkan dan ampuni (lapangkan dada)! Apakah engkau tidak ingin diampuni oleh Allah?” (QS. An-Nur: 22)
Demikian tulisan ringkas ini, semoga Allah memperbaiki hati dan akhlak kita.
Baca Juga:
***
@Lombok, Pulau seribu masjid
Penulis: Raehanul Bahraen
Artikel asli: https://muslim.or.id/77058-untuk-apa-belajar-agama-jika-membalas-mencela.html